Senin, September 7

Toxic Positivity (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Positive Vibes Only”, satu kalimat penuh makna yang jika kalian cari di mesin pencarian bernama google maka akan muncul bersamaan dengan beberapa quote pendukung lainnya seperti “we don’t appreciate negative vibes”, “stay positive”, atau “be happy” dan beberapa kalimat pendukung lainnya.

Sebagian orang beranggapan bahwa menjadi positif adalah satu-satunya cara terbaik untuk melewati berbagai halang-rintang kehidupan saat ini. Namun, nyatanya tidak selamanya kita harus terus bertahan dalam ke-positif-an ini, karena terkadang menjadi positif berarti mencoba lari dari permasalahan yang ada.

Apa itu Toxic Positivity?

Apa itu Toxic Positivity? (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Toxic positivity adalah generalisasi yang berlebihan dari keadaan bahagia dan pernyataan optimisme yang menghasilkan penyangkalan, minimisasi, dan invalidasi pengalaman emosional manusia yang otentik (thepsychologygroup.com)

Toxic positivity ini mengacu pada konsep bahwa setiap manusia wajib berpikiran dan bersikap positif terhadap apapun yang terjadi di dalam hidupnya. Padahal, toxic positivity ini membuat kita terlupa bahwasanya menusia diciptakan tidak hanya dengan emosi positif namun juga emosi negatif yang keduanya perlu direalisasikan.

Emosi Positif dan Negatif

Emosi adalah kondisi keadaan yang kompleks karena perubahan fisik dan psikologis yang memicu perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau suatu hal.

Mungkin beberapa dari kita cenderung menanggapi kata “emosi” sebagai salah satu hal yang terdengar negatif. Namun, kita sebagai manusia perlu mengamini bahwa emosi yang tercipta pada manusia meliputi emosi positif dan emosi negatif.

Emosi Negatif (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Saya yakin bahwa setiap manusia tidak ada yang menginginkan emosi negatif hadir dalam dirinya, seperti marah, menangis, kecewa, dan beberapa hal menyedihkan lainnya. Berbeda dengan emosi positif, yang cenderung digalakkan oleh beberapa kaum “positive vibes only”, seperti ekspresi kesenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan.

Emosi Positif (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Sebagian orang melakukan penyangkalan terhadap emosi negatif ini sehingga muncul suatu stigma bahwa emosi negatif hanya akan menimbulkan masalah. Namun, pada kenyataannya, emosi negatif yang terus-menerus terpendam justru akan memicu masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Seperti yang telah saya sampaikan di awal penulisan artikel ini, terkadang menjadi positif tidak selamanya baik. Ketika kita mencoba untuk mengesampingkan perasaan-perasaan negatif, maka kita sudah mencoba lari dari suatu permasalahan yang seharusnya kita hadapi, bukan kita hindari.

Contoh Toxic Positivity

Contoh Toxic Positivity (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Toxic positivity lahir dari keresahan sesama manusia akan hadirnnya drama-drama beruntun dari seseorang yang tengah dirundung kesedihan. Secara tidak sadar, melalui tren kekinian bertajuk “curhat”, toxic positivity ini mengalir begitu saja sebagai ungkapan penyemangat terhadap korban yang ternyata mengandung “racun”.

Beberapa ungkapan penyemangat mengandung “racun” ini tertuang dalam beberapa contoh kalimat di bawah ini :

“Sabar aja, coba deh lihat di luar sana masih banyak yang gak seberuntung kamu!”

I bet you guys have told this to your friend, or maybe you just have got this statement from your friend. Se-klasik itu sih emang, sebuah balasan mainstream pasca-curhat yang biasanya bakal diutarakan seseorang kepada korban yang mungkin mengalami masalah yang terlihat sangat kecil di mata pendengarnya.

Jujur, ini menyakitkan guys, karena saya pernah mengalami berada di posisi demikian. Bukan kalimat ini yang diharapkan seseorang yang ingin berbagi keluh kesah padamu. Mereka cukup paham bahwa memang sangat banyak diluar sana yang mungkin tidak seberuntung dirinya, namun tidakkah pernyataan itu sebaiknya tidak kamu keluarkan ketika tengah menjadi pendengar?

“Jangan Menyerah!”

Kalimat “jangan menyerah” ini pun termasuk salah satu kalimat mainstream ketika kamu berusaha menjadi penyemangat seseorang. Tidak salah memang, namun terkadang pernahkah kamu bertanya apa yang sebenarnya menjadi tantangan terberat dalam hidupnya saat itu?

“Aku juga pernah kok mengalami hal yang sama.”

Again, terdengar tidak asing bukan? Ketika kita dipercaya menjadi pendengar dari keluh kesah seseorang, maka berarti kita setuju bahwa di dalam percakapan tersebut tidak ada yang namanya kompetisi “siapa paling tersakiti” atau “siapa yang memiliki pengalaman buruk paling banyak”.

Cara Menghindari Toxic Positivity

Stop Toxic Positivity (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Setelah mengetahui beberapa kalimat-kalimat bertajuk penyemangat yang ternyata mengandung “racun” tersebut, maka beberapa kalimat di bawah ini akan membantumu untuk menjadi pendengar yang baik tanpa mengutarakan toxic positivity ke orang lain.

“Terimakasih sudah mengeluarkan emosimu saat ini.”

Yap, apresiasi. Percayalah bahwa apresiasi ini sangat penting kepada seseorang yang tengah dirundung masalah, baik masalah besar maupun masalah kecil sekalipun. Dengan memberikan seseorang apresiasi, maka kamu sudah cukup membuatnya merasa lebih baik karena ia akan merasa lebih diterima ketika mengutarakan emosi-emosi negatifnya yang mungkin selama ini terpendam. You save her!

“Wajar jika kamu merasa sedih/marah.”

Seseorang yang tengah dirundung masalah tidak memerlukan pembelaan apapun selain mengamini bahwa emosi negatifnya saat itu memang wajar untuk ia rasakan.

I feel you, and I’m here for you

Kalimat ini mungkin masih relate dengan kalimat sebelumnya. Dengan ikut merasakan apa yang saat itu tengah dirasakan seseorang yang dirundung masalah, maka kita akan cenderung menerima dan memahami emosi yang disalurkan seseorang.

Karena terkadang, yang dibutuhkan hanyalah kehadiran seseorang yang dapat menjadi pendengar yang baik untuknya, meski tanpa sepatah kata pun.

Sebagaimana dikutip dari thepsychologygroup.com, we get one chance at this beautiful, painful, imperfect life…embrace it entirely and you’ll reap the rewards of bountiful aliveness.

Dengan menjadi penyebar toxic positivity maka kita tidak hanya menyakiti diri sendiri namun juga menyakiti orang yang paling kita sayang, so, just stop it! Dunia tidak selamanya baik-baik saja, begitu pula kita sebagai penghuninya.

Maka, mulailah dengan menyebar empati tanpa toxic positivity, keep healthy and keep sane!

 

IndahLadya

 

Referensi :

Samara Quintero, LMFT, CHT and Jamie Long, PsyD, 2020, Website The Psychology Group

11 komentar:

  1. baru tau banget tentang toxic positivity, thanks a lot
    salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak, karena terkadang memang kita ingin menyemangati orang lain namun malah secara tidak sadar menyebarkan toxic positivity :) terimakasih sudah sharing kak

      Hapus
  2. Tampilan blognya udah bikin nyaman banget kak. Oh iya, lagi up ya pembahasan toxic positifity ini. Aspek psikologi emang selalu menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah mbak, hehe. Saya setuju sama mbak, makanya saya sempat mengangkat beberapa tema psikologi di bbrp artikel saya karena memang menarik untuk digali lebih dalam :) terimakasih sudah sharing mbak

      Hapus
  3. Thanks bangeeet Kak. Baru sadar aku soal ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi iya kak, terkadang memang kalimat-kalimat tersebut secara tidak sadar sudah bersifat toksik untuk orang lain, walaupun sebenarnya niat kita baik :) terimakasih sudah sharing kak

      Hapus
  4. Duh ga sadar kalo selama ini jadi member toxic positive,maksih kak artikelnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak sama-sama ya, senang bisa saling berbagi informasi :)

      Hapus
  5. Baru tau kalo positivity ada toxic nyaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe iya mbak, tapi gak semua positivity itu toksik kok :)

      Hapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Everything About Ladya . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates