Hey, gimana kabarnya kalian yang sudah mulai memasuki fase New Normal ini? Hopefully everything will be fine.

Disini aku bakal cerita dikit tentang masalah “parenting”, yaa yang pasti kayaknya jauh banget dari isi artikel aku sebelumnya yang dominan membahas tentang dunia per-beauty-an. Disclaimmer dulu, aku disini membuat artikel tentang “parenting” ini murni dari sisi aku sebagai anak. Jadi aku belum pernah merasakan menjadi orang tua saat ini dan aku juga bukan orang yang ahli dalam bidang “parenting”.

SEARCHING-2008

Sebenernya ide dari artikel kali ini bisa dibilang gak sengaja terbesit di pikiran aku karena baru aja nyelesaiin film “Searching” tahun 2018 yang disaranin sama temen aku. Selesai dari nonton film itu, seakan membuka pikiran aku kalo ternyata “parenting”, yaa yang termasuk komunikasi orang tua dan anak, itu penting banget. Film ini menceritakan efek dari misscommunication antara anak dan orang tua, terlebih ketika ibu dari anak ini harus pergi selama-lamanya dari kehidupan mereka. Which is you know that sang anak pasti terpukul banget dengan kepergian ibunya. Terkadang, emosi yang ada di dalam diri anak ini gabisa sepenuhnya dikeluarkan dengan sembarang orang. Itulah pentingnya komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.

Di film ini, menurut pandangan aku, si anak ini jadi sosok yang tertutup tepat setelah ibunya meninggal dunia. Dia mencari sesosok orang yang bisa menjadi tempat dia untuk meluapkan emosinya, but unfortunately, her father can’t do that things. Ayahnya berasumsi bahwa sang anak baik-baik saja, never say “no”, yaa tipikal anak yang nurut sama orangtuanya. Sampai akhirnya si anak ini mencari pelarian di hal-hal lain yang ternyata diikuti dengan konflik-konflik berikutnya.

Aku bisa bilang kalo secara keseluruhan, film ini plot-twist-nya dapet banget, sampai akhirnya aku bener-bener gak nyangka kalo ternyata ending dari film ini akan sangat diluar perkiraan aku pribadi. So yeah, kalo kalian penasaran sama filmnya, bisa langsung ditonton aja yaa, bisa dicari di google tuh, hihi.

Oke jadi mungkin bisa langsung ke teorinya ya.

PARENTING ITU APA SIH?

Menurut APA (American Psychological Association), parenting adalah suatu pola pengasuhan anak oleh orang dewasa (tidak terbatas dengan hubungan biologis) yang memiliki tiga tujuan utama; yaitu memastikan anak-anak selalu dalam keadaan sehat dan aman, mempersiapkan anak-anak agar tumbuh menjadi produktif, dan menurunkan nilai-nilai budaya. Hmm oke, jadi kalo ada yang bilang parenting itu adalah cara mendidik anak, ya bener, tapi untuk lebih detail nya parenting ini lebih ke interaksi antara anak dan orang tua dengan tujuan untuk mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual.

Nah, dari konsep parenting tadi, bisa kita simpulkan bahwa parenting itu ga sesimpel “ngurus anak sampe jadi gede doang” hehe, komplit loh, dari segi emosi iya, dari segi spiritual iya, jadi ga serta-merta untuk secara fisik doang.

Pernah denger orang cerita kalo dia merasakan orang tuanya ada secara fisik tapi ga secara batin? Iya, bisa aku bilang kalo ini salah satu bentuk kesalahan dari pola pengasuhan si anak tadi. Terkadang orang tua terlalu sibuk untuk mencintai anaknya sampai akhirnya lupa untuk bertanya apakah si anak ini merasa dicintai oleh kedua orang tua mereka atau tidak. Minimnya komunikasi antara anak dan orang tua memungkinkan untuk si anak tadi berusaha mencari orang lain untuk dijadikan tempat untuk meluapkan emosinya. Jangan salah loh, anak yang keliatannya baik-baik aja belum tentu dia juga baik secara emosi. Terkadang si anak tadi menahan dan terus menahan sampai akhirnya jadi bom waktu yang bisa merusak semuanya, yang pastinya hal ini gak akan diinginkan oleh orang tua manapun untuk terjadi pada anak mereka.

BAD PARENTING ≠ ORANG TUA TIDAK SAYANG

Aku bukan bilang anak yang dididik dengan “Bad Parenting” ini sebagai salah satu output dari orang tua yang gak sayang sama anaknya. Absolutely not, aku percaya kalo semua orang tua pasti sayang sama anaknya. Tapi, terkadang rasa sayang orang tua ini disalahartikan oleh si anak. Contohnya, orang tua yang overprotective ga ngebolehin anaknya pulang di atas jam 6 sore. Sayang? Iya karena sayang, saking sayang sama anaknya sampai si orang tua ini takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anaknya. Tapi coba kita lihat dari sisi anaknya? Apa si anak juga merasa demikian? Mungkin iya, mungkin juga nggak. Itulah kenapa pentingnya komunikasi tadi. Orang tua gabisa memaksa si anak untuk mengerti sepenuhnya bagaimana kekhawatiran yang dirasakan orang tua terhadap anaknya, toh si anak tadi belum pernah ngerasain jadi orang tua ya kaan?

Pada hakikatnya, komunikasi dalam sebuah keluarga khususnya antara orang tua dengan anak memiliki kontribusi yang luar biasa bagi keduanya, karena dengan adanya komunikasi yang efektif dan efisien dan dilaksanakan secara terus-menerus dapat menciptakan keakraban, keterbukaan, perhatian yang lebih antara keduanya serta orang tua pun lebih dapat mengetahui perkembangan pada anak baik fisik maupun psikisnya.

Menurun Hasan Basri, komunikasi berfungsi sebagai :

1.      Sarana untuk mengungkapkan kasih sayang

2.      Media untuk menyatakan penerimaan atau penolakan atas pendapat yang disampaikan

3.      Sarana untuk menambah keakraban hubungan sesasama warga dalam keluarga

4.      Menjadi barometer bagi baik buruknya kegiatan komunikasi dalam sebuah keluarga

 

Nah, jadi dari komunikasi ini orang tua dan anak bisa berdiskusi mengenai peraturan yang biasa dibuat orang tua di rumah, contohnya ga boleh pulang di atas jam 6 sore tadi. Orang tua bisa mengungkapkan alasan mengenai peraturan tersebut, dan si anak tadi bisa menyatakan penerimaan atau penolakan atas pendapat orang tua mengenai peraturan tersebut juga. Dengan demikian, pola komunikasi yang seperti ini bisa menguntungkan kedua belah pihak dikarenakan adanya saling keterbukaan satu sama lain.

JANGAN MEMBENTAK ANAK

Coba kita bedakan ketika ada orang lain yang berusaha mengajak diskusi baik-baik mengenai hal yang sebenernya kita gak setuju. Kira-kira outputnya gimana? Mungkin pada akhirnya kita akan tetap pada pendapat kita, atau mungkin juga kita bisa membuka pikiran kalo sebenarnya pendapat dari orang itu ga salah-salah banget deh istilahnya. I mean, output nya bagus kan? Gak akan bentrok di batin kalian karena semua dilakukan dengan diskusi yang baik, yang tentunya menggunakan bahasa yang baik sehingga sama-sama ga merasa tersakiti lah, ikhlas gitu loh.

And then, beda ceritanya kalo ada orang yang berbeda pendapat dengan kita terus langsung bentak-bentak kita dan menyuarakan pendapat mereka dengan suara keras sampai kita gak dikasih waktu buat menyampaikan apa yang sebenarnya ada di pikiran kita saat itu. Yang namanya pendapat gak ada yang salah kan? Namanya aja opini. Kalo mau bener semua, ya teori, hehe. Oke, back to topic, jadi bakal gimana reaksi kalian kalo ketemu sama orang yang kayak gini? Jadi pengen ikutan marah kan? Iya, kalo mungkin kalian termasuk orang yang sabar, maka kalian akan diam. Diam disini bukan sebagai bentuk penerimaan loh, cuma ga mau nyari ribut aja, iya kan? Bayangkan kalo hal ini terjadi antara anak dan orang tua. Si anak mungkin akan diam, tapi bagaimana dengan mentalnya? Luka batin ga semudah itu buat disembuhkan, butuh yang namanya Self-Healing yang mungkin memakan waktu cukup lama. Iya kalo berhasil, kalo nggak?

Apalagi ketika hal ini terjadi terus-menerus pada si anak. Tekanan yang secara berulang ini akan menjadi kenangan pahit dan akan terus melekat dalam memorinya sehingga jiwanya menjadi luka batin. Ga mau kan yaa? So, don’t do that please! Sebisa mungkin usahakanlah untuk diskusi baik-baik dengan si anak. Even if dia melakukan suatu kesalahan yang besar, karena tanpa orang tua menghardik mereka dengan kata kasar sebenarnya mereka udah tau kalo mereka salah, mereka cuma butuh bimbingan dan kasih sayang dari kalian, orang tua mereka.

I’m so sorry, aku memang sedikit emosional ketika membahas hubungan antara orang tua dan anak ini. I feel so touched. Believe it or not, aku sampai menitikkan air mata ketika merangkai kata dalam poin ini.

Ohyaa, untuk yang sudah “terlanjur” terjebak dalam luka batin ini, semangat ya! Ada banyak banget cara self-healing yang udah dijabarkan sama ratusan orang yang jauh lebih berkompeten untuk membahas hal itu. Dan satu lagi, jangan takut ke psikolog ya! Ke psikolog bukan berarti gila kok, hehe, itu kutipan dari temanku.

TERAPKAN KOMUNIKASI YANG BAIK


Salah satu cara yang bisa dilakukan orang tua untuk menerapkan pola komunikasi yang baik ini adalah dengan menjadi pendengar yang baik dan berusaha untuk tidak mendominasi. Karena pada dasarnya si anak tadi akan cenderung melakukan penolakan ketika dia merasa orang tua nya terlalu mendominasi dalam berbagai hal. Untuk timing-nya? Bisa dilakukan saat makan bersama di meja makan. Hmm, ini termasuk sulit untuk dilakukan di jaman modern saat ini yang notabenenya si anak dan orang tua udah gak pernah punya jadwal makan bersama lagi. Ada beberapa orang tua yang memilih untuk makan sendiri sambil menikmati serial telivisinya, dan beberapa anak juga lebih memilih untuk makan sendiri di kamar mereka masing-masing, ga ketemu dong ya?

Nah, hikmah dari pandemi yang sedang kita hadapi saat ini adalah orang tua dan anak jadi punya waktu lebih untuk saling ketemu dan komunikasi, ya hopefully yes yaa, i mean, beberapa keluarga sepertinya ga merasakan perbedaan sebelum dan saat pandemi ini berlangsung. Ntah karena tuntutan pekerjaan orang tua yang gabisa menjalankan WFH (Work From Home) atau emang lagi sama-sama sibuk aja.

Aku berharap semua keluarga diluar sana ga merasakan efek dari komunikasi yang buruk antara anak dan orang tua, dan ke depannya kita bisa sama-sama bersyukur atas semua yang sedang kita hadapi saat ini. Semoga bumi lekas membaik !

Terakhir, sebagai kalimat penutup, dikutip dari Ibrahim Amini, “memahami anak didik, berbicaralah dengan bahasa yang mereka pahami, jalinlah fondasi internal yang kukuh, tunjukkan sikap positif terhadap anak baik lewat lisan atau perbuatan, tunjukkan sikap respek kepadanya, jangan membeberkan kekurangan-kekurangannya, jangan langsung memvonis kesalahan mereka, perlakukanlah mereka dengan penuh simpati dan cinta”.

See you to the next post!

With Love,

IndahLadya

 

Referensi

Amini, I. 2006, Agar Tak Salah Mendidik Anak, Al-Huda, Jakarta, Indonesia.

Basri, H. 1997, Keluarga Sakinah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Indonesia.

Mufidah, H. 2008, ‘Komunikasi Antara Orang Tua dengan Anak dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Anak’, Skripsi, S.Pd.I., Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia.

Anonim. 2019, Pengertian Parenting dan Jenis-Jenisnya, diakses pada tanggal 28 Juni 2020, <https://www.stella-maris.sch.id/>.