Jumat, Oktober 2

Klaustrofobia, My Untold Story (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Bagi sebagian orang, berada dalam suatu ruangan sempit mungkin bukan menjadi suatu yang besar. Namun, bagi pengidap klaustrofobia, berada di suatu ruangan sempit ini akan menyebabkan rasa takut berlebih yang diikuti dengan respon lainnya seperti sakit kepala dan jantung yang berdetak lebih cepat.

Beberapa orang mungkin menganggap hal ini adalah suatu hal yang terlalu berlebihan, bahkan tidak segan untuk menghakimi pengidap salah satu kasus fobia ini sebagai orang yang “lebay”. Padahal, pada kasus yang parah, pengidap klaustrofobia dapat mengalami gejala sesak nafas hingga hiperventilasi. 

Klaustrofobia

Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Klaustrofobia adalah fobia situasional yang dipicu oleh rasa takut yang tidak rasional dan intens terhadap ruang sempit atau sesak. Hal ini dapat dipicu oleh hal-hal seperti terkunci di ruangan tanpa jendela, terjebak dalam lift yang penuh sesak, atau mengemudi di jalan raya yang padat (healthline.com).

Klaustrofobia ini juga termasuk salah satu jenis kasus fobia yang umum dan tidak sedikit ditemukan pada lingkungan kita sehari-hari. Adapun kasus ini bisa memicu respon yang ringan hingga respon yang parah.

Pada beberapa orang, kasus klaustrofobia dapat menghilang dengan sendirinya. Namun, pada beberapa kasus lainnya, hal ini membutuhkan terapi dan penanganan khusus berdasarkan jenis gejala yang ditimbulkan ketika mengalami serangan tersebut.

Gejala Klaustrofobia

Gejala Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Pada kasus yang ringan, gejala yang ditimbulkan umumnya dapat berupa rasa bingung dan pusing. Sedangkan pada kasus yang parah, pengidap klaustrofobia dapat mengalami gejala mulai dari sesak nafas, mual, nyeri dada, hingga hiperventilasi.

Hiperventilasi sendiri merupakan kondisi saat seseorang mungkin akan lebih banyak mengeluarkan karbon dioksida daripada menghirupnya. Akhirnya, karbon dioksida dalam tubuh pun berkurang. Level rendah tersebut dapat memicu penyempitan pembuluh darah yang memasok darah ke otak. Ketika hal itu terjadi, maka seseorang akan merasa “melayang” dan kesemutan pada jari. Bahkan kasus hiperventilasi yang parah dapat menyebabkan kehilangan kesadaran alias pingsan (hellosehat.com).

Jadi, masih mau menganggap kalau pengidap kasus klaustrofobia ini “lebay”?

Penyebab Klaustrofobia

Penyebab Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Gejala yang ditimbulkan dari klaustrofobia ini dapat dipicu oleh beberapa pengalaman masa lalu ataupun mungkin faktor lingkungan yang memainkan peran cukup besar sebagai penyebab kasus ini.

Peristiwa-peristiwa yang bersifat traumatis seperti terjebak di ruang sempit dalam waktu lama, mengalami turbulensi saat terbang, bahkan pengalaman buruk seperti dihukum dengan cara dikunci dalam suatu ruangan kecil seperti kamar mandi bisa turut berpotensi menyebabkan timbulnya kasus klaustrofobia ini.

Pandangan Sebagai Pengidap Klaustrofobia

Pandangan Sebagai Pengidap Klaustrofobia (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Tidak banyak orang yang aku beri tahu mengenai hal ini. Karena sebetulnya, aku pun tidak bisa mendiagnosa secara pasti apakah aku termasuk dalam salah satu pengidap kasus klaustrofobia ini. Jika memang iya, maka aku termasuk sebagai pengidap kasus klaustrobia dengan gejala yang ringan.

Jauh sebelum aku tahu istilah klaustrofobia, yang aku tahu bahwa aku hanyalah seorang anak yang takut untuk berada di suatu ruangan kecil terutama yang berisi banyak orang, ruangan yang penuh sesak lah istilahnya. Ruangan yang aku maksud disini bisa jadi banyak jenis, seperti toilet yang terlalu kecil dan tertutup (berbeda dengan toilet mall yang notabenenya terdapat celah pada bagian atas dan bawahnya), ruangan tanpa jendela, atau bahkan sebuah lift sekali pun.

Meskipun aku memiliki rasa takut dan cemas ketika berada di ruangan tersebut, tetapi hal ini tidak menyebabkan aku menolak sepenuhnya untuk berada di ruangan yang sudah aku sebutkan tadi. Namun, jika memang ada pilihan lain, maka aku pasti memilih untuk mengambil “pilihan lain” tersebut.

Gejala yang dapat aku rasakan mulai dari rasa pusing dan jantung yang berdetak lebih cepat. Nah, gejala-gejala ringan inilah yang sebetulnya membuat aku merasa tidak nyaman dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, “sebenarnya aku ini kenapa sih?”.

Dengan bantuan beberapa akun media sosial yang saat itu men-share artikel yang berisi jenis-jenis fobia, maka sesaat setelahnya aku mulai memahami bahwa memang ada suatu hal yang salah dengan diriku. Namun, hal ini tentunya tidak mudah untuk aku diskusikan dengan orang lain, karena kasus-kasus fobia seperti ini nampaknya masih awam di lingkungan sekitarku.

Yang aku pikirkan saat itu hanyalah “rasa takut akan penolakan dari orang sekitar”, karena aku merasa seolah hanya aku yang memiliki rasa aneh seperti ini. Jika ditanya penyebabnya pun, aku tak tahu pasti. Mungkin faktor tontonan semasa kecil yang mengambil plot dimana seseorang mati terbunuh sesaat setelah terjebak dalam suatu lift saat terjadi gempa bumi. Sampai saat ini, yang aku ingat hanya adegan itu.

Mengatasi Serangan Panik

Mengatasi Serangan Panik (sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

Menjadi seseorang yang “mungkin” mengidap klaustrofobia ini cukup membuat diriku merasa tidak percaya diri dan takut. Namun, karena gejala yang ditimbulkan termasuk gejala yang ringan, aku rasa, hal yang perlu aku lakukan saat ini hanyalah latihan pernafasan dan mencoba fokus pada hal yang aman ketika berada di ruangan “menyeramkan” tersebut, seperti mencoba memandangi waktu pada jam tangan yang saat itu aku gunakan.

Pada kasus klaustrofobia yang parah, dilansir dari healthline.com, kita disarankan untuk memilih salah satu jenis terapi pengobatan, seperti :

Cognitive behavioral therapy (CBT)

Terapi ini memfokuskan diri untuk mengontrol dan mengubah pikiran negatif yang datang saat serangan panik terjadi. Dengan mengubah pola pikir ini, maka akan lebih mudah bagi kita untuk mengubah reaksi dan respon ketika menghadapi situasi yang memicu timbulnya serangan panik tersebut.

Rational emotive behavioral therapy (REBT)

REBT ini merupakan salah satu bentuk CBT yang terfokus pada perilaku dan emosi dari pengidap kasus ini. REBT ini membahas sikap, emosi, dan perilaku yang tidak sehat sehingga memastikan kita untuk tidak merasakan suatu ketakutan yang tidak realistis.

Relaksasi dan visualisasi

Terapi ini memastikan kita untuk berkhayal atau memvisualisasikan diri seolah berada di suatu tempat yang aman dan nyaman, sehingga pikiran-pikiran negatif ketika berada di ruangan sempit ini bisa diminimalisir.

Terapi “pemaparan”

Terapi “pemaparan” ini mungkin akan menempatkan kita pada suatu kondisi dimana kita biasa mengalami serangan tersebut, yaitu ruangan sempit itu sendiri. Kita akan ditempatkan pada suatu kondisi tidak berbahaya, tetapi tetap memicu klaustrofobia. Teknik ini diharapkan mampu membuat seseorang dapat menghadapi dan mengontrol rasa takutnya. Prinsipnya adalah “semakin sering kita dihadapkan oleh suatu hal yang menyebabkan rasa takut, maka semakin sedikit rasa takut yang kita dapatkan”.

Obat-obatan

Menghubungi tenaga medis merupakan cara terbaik dalam menghadapi kasus klaustrofobia dengan gejala menengah hingga parah. Dokter biasanya akan meresepkan obat-obatan seperti antidepresan atau jenis obat-obatan lain sesuai dengan gejala yang ditimbulkan. Obat-obatan ini biasanya hanya sebagai terapi tambahan dari beberapa jenis terapi yang sudah disebutkan sebelumnya.

Nah, ternyata klaustrofobia ini tidak sesederhana itu ya. Apalagi untuk kasus yang parah. Pesanku untuk sesama pengidap klaustrofobia, penting bagi kita untuk tidak menahan emosi dan kecemasan saat serangan panik ini terjadi, karena semakin kita ingin menghentikan kecemasan tersebut, maka hal ini dapat membuat serangan menjadi semakin parah (healthline.com).

Sebaliknya, terimalah bahwa serangan itu terjadi, ingatkan diri bahwa it’s okay to feel this, yakinkan diri kita bahwa serangan ini tidak mengancam nyawa, dan ingatlah bahwa serangan itu akan segera berlalu.

Teruntuk orang-orang beruntung yang mungkin mendapati cerita kecemasan dari pengidap klaustrofobia ini, jangan berusaha untuk menghakimi ya! You never know how it feels until it happens to you.

(sumber gambar: dokumentasi pribadi indahladya.com)

 

IndahLadya

 

Referensi :

Annamarya Scaccia, 2017, Everything You Should Know About Claustrophobia

Rizki Pratiwi, 2020, Hiperventilasi (Napas Berlebihan) Saat Panik, Berbahayakah?

Everything About Ladya . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates